“Kalau masalah produksi saya kira semua bisa mengatasinya. Tapi, tantangan suplai bahan baku ini yang menjadi tantangan terbesar,” ujar Awan Nasution, Komisaris PT Genta Trikarya.
Selama kurang lebih 27 tahun bekerja di perusahaan ini, Awan bercerita seputar tantangan terbesar di industri woodworking, yaitu tantangan akan suplai bahan baku yang legalitasnya masih perlu diurus. Sebab, ketika perusahaan ingin menggunakan kayu dalam negeri, tentu mereka ingin mendapatkan kayu dari penjual yang legalitasnya tidak diragukan.
Tak hanya berkaitan dengan suplai, tantangan yang berkaitan dengan kayu juga sempat menjadi kendala ketika PT Genta Trikarya hendak memasuki pasar Eropa. Hal itu dikarenakan perbedaan musim yang menyebabkan pemrosesan kayu untuk diekspor ke Eropa harus memiliki karakteristik tersendiri agar bisa bertahan di negara empat musim.
Namun, tantangan tersebut mampu diatasi hingga PT Genta Trikarya yang sudah berhasil memasarkan produknya di pasar Eropa sejak awal 1990-an. Seperti apa ceritanya?
Awal Mula PT Genta Trikarya Masuk ke Pasar Eropa
Awan bercerita, pada awal tahun 1990-an, ada sebuah perusahaan distributor Jepang yang tertarik untuk membeli produk mereka untuk kemudian mendistribusikannya ke beberapa negara. Karena saat itu mereka baru belajar untuk memasarkan produk ke Eropa, Awan mengaku mengalami kendala, salah satunya tingkat kekeringan kayu.
Baca Juga: Bagaimana Perkembangan Industri Kayu di Masa Depan?
Pasalnya, alat musik yang akan diekspor ke negara-negara yang memiliki empat musim harus memiliki tingkat kekeringan yang cukup tinggi, yaitu dengan maksimal moisture content (mc) 8%. Tingkat kekeringan ini jauh lebih kering dibandingkan furnitur pada umumnya.
Setelah kayu yang mereka kirim mengalami crack atau perubahan bentuk saat beradaptasi di negara empat musim, Awan mulai belajar lagi untuk mengatasi hal tersebut. Hingga masuklah ke masa krisis 1998 yang menyebabkan mata uang dollar mengalami kenaikan tinggi. Saat itu, penjualan di dalam negeri terhenti semua.
“Ada satu perusahaan Inggris yang tertarik dengan produk kita, lalu dicoba kita kirim produk satu-dua container. Awalnya itu belum dibayar karena mereka belum percaya. Mau langsung datang ke Indonesia juga belum berani karena berita tentang kerusuhan saat itu. Ini merupakan kesempatan, waktu itu kita kirimkan dua container ke Inggris, kemudian dia pelajari di sana, dipasarkan, dan ternyata disambut baik. Akhirnya berlanjut sampai sekarang,” ujar Awan.
Membangun Koneksi Menjadi Salah Satu Kunci
Tak berhenti sampai di situ, aktivitas ekspor yang dilakukan pun terus berjalan sampai hari ini dengan dorongan dari koneksi yang mereka temui di pameran-pameran alat musik. Awan mengatakan, pameran alat musik ada di beberapa negara besar di Eropa dan Amerika.
Bahkan, setiap tahun, Awan beserta timnya rutin datang ke pameran tersebut untuk membangun koneksi bertemu dengan pembeli, calon pembeli, hingga kompetitor.
“Kita banyak belajar tentang perkembangan, model-model, jenis-jenis alat musik di pameran tersebut. Begitu juga yang menjual komponen-komponen yang kita perlukan untuk produk kita, itu bisa kita lihat di sana, dan langsung membeli di sana,” tambahnya.
Mendatangi pameran-pameran alat musik di luar negeri juga menjadi salah satu cara yang perlu dipersiapkan jika pelaku industri ingin mulai merambah ke pasar internasional. Menurut Awan, jika ingin mencapai pembeli dari luar negeri, salah satu cara mendapatkannya yaitu dengan datang langsung ke “sarang”-nya (atau pamerannya) dan membangun koneksi di sana.
Teknologi Mendorong Perubahan di Industri Woodworking
Penggunaan teknologi dalam pemrosesan kayu sangat membantu produksi menjadi lebih efektif dan efisien. Apalagi jika berbicara tentang proses pengolahan kayu yang akan diekspor ke Eropa, maka dibutuhkan pengeringan yang cepat dengan hasil yang baik agar produk bisa dikirim sesuai waktu yang diestimasikan.
Menurut Awan, dulu ketika dilakukan pengeringan yang cepat, akan ada risiko kayu menjadi rusak atau pecah. Hal ini tentu sangat merugikan perusahaan dari segi waktu dan biaya. Sebab, kayu yang rusak harus diganti dengan kayu baru dan waktu pemrosesannya pun harus diulang dari awal lagi.
Baca Juga: Ekspor Produk Industri Kayu Meningkat Hingga $14 Miliar pada 2022
Dengan kehadiran teknologi, sekarang ada mesin pengeringan yang membuat kayu cepat kering tanpa merusak tekstur kayunya. Mesin tersebut adalah mesin high frequency yang digunakan untuk mempercepat pengeringan kayu, seperti yang sudah digunakan oleh PT Genta Trikarya ketika memproses kayu mereka.
Meski begitu, Awan mengaku proses finishing tak kalah lama dibandingkan proses pengeringan kayu. Sebab, finishing yang di dalamnya termasuk proses pengamplasan dan pengeringan cat membutuhkan waktu kurang lebih seminggu lebih hingga hasilnya benar-benar jadi.
“Di luar negeri itu, sudah banyak menggunakan cat yang cepat kering. Di Indonesia ada juga, tapi hanya sebatas untuk papan-papan panel yang sudah menggunakan sistem pengeringan ultra violet agar cepat kering. Nah, untuk gitar yang permukaannya tidak berupa panel atau lembaran, ini menjadi satu tantangan di mana harus ada alat khusus yang bisa menggunakan sistem ultra violet tad. Ini yang masih kita ingin punya,” tegas Awan.
Meski perkembangan teknologi memiliki keterbatasan yang masih perlu diperbaiki, tetapi Awan tetap yakin bahwa industri perkayuan Indonesia memiliki peluang yang bagus untuk bersaing di pasar internasional. Apalagi Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa, termasuk kayu di dalamnya.
Hanya saja tantangannya sebagai pelaku industri harus lebih banyak memanfaatkan sumber daya alam tersebut agar tidak dijual secara mentah-mentah dan mengolahnya terlebih dahulu agar mendapatkan nilai jual yang lebih baik. Sebab, produk gitar di luar sana banyak yang ternyata menggunakan bahan baku kayu dari Indonesia.
“Sebaiknya porsi kayu mentah yang dijual ke luar negeri jangan terlalu besar, agar kita memiliki nilai jual yang naik,” tutupnya.