Perkembangan industri kayu di Indonesia terus menarik bagi pelaku industri saat ini. Apalagi mengingat ekspornya yang cukup tinggi beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, ternyata meski dari perkembangannya terus meningkat, realisasi industri kayu masih dikatakan rendah. Hal ini disebabkan adanya tiga faktor penyebab Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH) tidak mencapai kapasitas maksimalnya untuk memproduksi sesuai izin dari pemerintah.
Melansir Forest Digest, semua pelaku yang menjalankan industri hasil hutan harus memiliki perizinan dari PBPHH terlebih dahulu. Hingga kini, tercatat ada sekitar 545 unit PBPHH yang memiliki kapasitas produksi hingga 6.000 meter kubik per tahun atau lebih. Dengan angka sebesar ini, diketahui total kapasitas produksinya mencapai hingga 91 juta meter kubik per tahun.
Lalu, mengapa realisasi produksinya dianggap rendah? Rupanya, pada 2022 lalu, realisasi produksi industri hasil hutan ternyata hanya mencapai 42,19 juta meter kubik per tahun, atau sekitar 48,7% dari kapasitas totalnya. Kira-kira, apa saja tiga faktor yang dikatakan menjadi penyebab realisasi industri kayu dan hasil hutan masih berada di angka rendah, mengingat kapasitas produksinya bisa mencapai angka 91 juta jika dijalankan dengan maksimal?
Baca Juga: Ekspor Produk Industri Kayu Meningkat Hingga $14 Miliar pada 2022
Tiga Penyebab Realisasi Industri Kayu Masih Rendah
Ada tiga penyebab yang membuat realisasi industri kayu masih rendah. Pertama, masalah yang berkaitan dengan bahan baku. Hal ini terjadi akibat belum adanya pemetaan terkait jenis kayu, potensi riil kayu, dan sebarannya.
Keberadaan kayu di hutan memang mulai berkurang karena banyaknya pembangunan yang membuat lahan hutan beralih fungsinya. Namun, keberhasilan program rehabilitasi lahan khususnya di Pulau Jawa telah mendorong ketersediaan bahan baku kayu jadi lebih baik lagi.
Dengan adanya ‘pemulihan’ ketersediaan bahan baku kayu seperti ini, mestinya pertumbuhan pengolahan industri kayu juga semakin meningkat. Apalagi jika diberlakukan pemetaan secara riil potensi kayu yang tersebar dari hutan rakyat, maka masalah akan stok bahan bakunya menjadi lebih mudah untuk terdeteksi.
Namun, pelaku industri kayu juga perlu melakukan antisipasi terkait bahan baku kayu untuk jangka panjang. Pasalnya, pasokan kayu dari hutan rakyat sifatnya fluktuatif. Maka itu, tetap perlu diimbangi dengan teknologi yang ramah lingkungan. Pemerintah pun perlu meningkatkan pembinaan kepada masyarakat terkait cara penanaman yang sesuai agar Indonesia tetap memiliki pasokan kayu yang stabil secara berkelanjutan.
Selain bahan kayu, penyebab yang kedua yaitu efisiensi industri kayu. Maksudnya di sini adalah, industri ini tak bisa lepas dari kegiatan restrukturisasi. Masih banyak pelaku industri yang menggunakan mesin-mesin tua atau bahkan cara tradisional untuk memproduksi kayu, sehingga performa produksi semakin menurun. Inilah yang menyebabkan penggunaan teknologi tepat sangat dibutuhkan demi meningkatkan efisiensi produksi tanpa merusak alam.
Yang terakhir yaitu ketersediaan pasar. Secara umum, pasar produk kayu terbagi atas dua, yaitu pasar domestik dan internasional. Seperti yang kita ketahui, ekspor industri kayu Indonesia semakin berkembang dan terus menunjukkan kemampuannya untuk meningkatkan produksi ekspor negara.
Baca Juga: Ekspor Industri Kayu Indonesia BUMN Tembus 8 Negara
Contoh industri pengolahan kayu seperti UMKM Uleen yang berhasil mengekspor produk kerajinan dari limbah kayu ke negara tetangga. Kali ini, kayu olahan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perhutani Grup berhasil tembus ke delapan negara.
Bahkan, delapan negara tujuan ekspor furniture Indonesia tersebut berasal dari lima benua, yaitu Amerika Serikat (AS), Belgia, Inggris, Jerman, Australia, Jepang, Korea, dan Ethiopia. Maka itu, tidak heran jika ekspor industri kayu Indonesia tahun 2022, meningkat hingga 14.1%, seperti yang dilansir dari Forest Insights.
Meski begitu, kuantitas ekspornya ternyata mengalami penurunan akibat turunnya realisasi produksi hasil hutan. Terbatasnya sarana yang dapat diakses para pelaku industri kayu juga menjadi salah satu alasan realisasinya rendah. Apalagi di pasar domestik yang cenderung masih rentan terhadap harga jual dan kurangnya promosi yang membuat penjualannya belum optimal.