5 Tantangan Industri Kayu di Tahun 2023

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama kurang lebih dua tahun terakhir memengaruhi semua sektor industri manufaktur di seluruh dunia. Tak hanya itu, kondisi ini memberikan dampak signifikan pada fungsi bisnis berbagai industri secara global yang mengakibatkan banyak bisnis melakukan layoff dan gulung tikar. Hal ini juga berdampak negatif pada industri kayu, mebel, dan kerajinan.

Meskipun demikian, menurut laporan dari Grand Strategy Plan Industri Mebel dan Kerajinan Nasional dari HIMKI tahun 2022, perkembangan industri kayu di Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, mengingat permintaan ekspor sempat mengalami kenaikan yang tinggi dari Amerika Serikat (AS) pada enam bulan pertama 2021 lalu.

Daya saing produk kayu, mebel dan kerajinan Indonesia pun dikategorikan memiliki daya saing yang kuat, khususnya pada produk-produk berbasis rotan yang mampu mengalahkan negara pesaing lain. HIMKI menyebutkan, sebagian besar produsen di industri kayu, mebel, dan kerajinan memiliki kapasitas yang mumpuni untuk bersaing di pasar internasional dan memenuhi kebutuhan ekspor dan domestik. Namun, masih ada kendala yang disebabkan beberapa faktor internal maupun eksternal perusahaan yang terkadang menghambat produksi.

Faktor internal yang seringkali terjadi yaitu kapasitas produk yang terbilang masih rendah. Sedangkan masalah eksternalnya berkaitan dengan tiga aspek dalam Diamond Porter (faktor input, industri terkait dan pendukung, konteks strategi dan persaingan, termasuk regulasi.

Lalu, seperti apa tantangan industri kayu yang masih harus diperhatikan para pelaku bisnis industri kayu, mebel, dan kerajinan untuk menghadapi 2023 mendatang?

5 Tantangan Industri Kayu Tahun Depan

Berdasarkan Grand Strategy Plan Industri Mebel dan Kerajinan Nasional dari HIMKI 2022, berikut ini lima tantangan industri kayu yang perlu menjadi perhatian produsen dan para pelaku bisnis industri kayu, mebel, dan kerajinan. Apa saja?

  1. Kapasitas produksi masih rendah

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, banyak produsen mebel dan kerajinan yang menerima permintaan ekspor dengan kenaikan besaran order 2019 dari 30% hingga 100%. Namun, tantangannya berada di kemampuan perusahaan untuk memenuhi permintaan tersebut. Ternyata, dibandingkan dengan permintaan yang sangat tinggi, masih banyak perusahaan di industri kayu yang hanya mampu memenuhi order sebesar 20% saja, sehingga kapasitas produksinya terbilang masih rendah.

Baca Juga: UMKM Uleen Ubah Limbah Kayu Ulin Menjadi Produk Ekspor

  1. Keberanian produsen memasuki segmen high end consumen masih rendah

Dalam lima tahun ke depan, pasar global untuk high end products diperkirakan akan terus tumbuh. Hal ini selaras dengan banyaknya produsen mebel dan kerajinan di Indonesia yang memiliki skill mumpuni untuk memproduksi high end products. Meski demikian, kekurangannya berada di kepercayaan diri yang masih rendah untuk menunjukkan kemampuan tersebut, sehingga produsen kayu, mebel, dan kerajinan memilih untuk memproduksi produk sederhana yang lebih mudah untuk dibuat. Kondisi ini cukup disayangkan, mengingat nilai pasar dari high end products jauh lebih tinggi dibandingkan produk sederhana.

  1. Permasalahan birokrasi

Untuk bisa mengirimkan ekspor produk mebel dan kerajinan berbasis kayu, dibutuhkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK). Namun, proses mengurus SLVK sering menjadi penghambat kegiatan ekspornya karena waktu pengurusannya kurang fleksibel, yaitu mengikuti jam kantor biasa, pukul 08:00 hingga 16:00. Tantangannya berada di waktu pengiriman barang perusahaan yang terkadang menyesuaikan beberapa faktor, seperti waktu penyelesaian order, jadwal kapal, kondisi lalu lintas, dan lainnya yang bisa dilakukan pagi, siang, bahkan tengah malam.

  1. Investasi teknologi Augmented Reality (AR) 4.0

Perkembangan teknologi tentu akan menjadi salah satu tantangan industri kayu di tahun mendatang, terutama untuk penerapan teknologi AR 4.0 dalam pemasaran dan showcase produk yang sudah banyak diterapkan oleh para produsen mebel dan kerajinan multinasional. Menurut HIMKI, hasil riset pasar menunjukkan adopsi teknologi AR 4.0 oleh perusahaan besar memiliki korelasi yang positif dengan kinerja penjualan secara global. Melalui AR 4.0, produsen jadi bisa menjual produk mereka melalui platform yang lebih besar lagi, sehingga akan terjadi peningkatan pada penjualan di dalam dan luar negeri.

Baca Juga: IFMAC & WOODMAC 2022: Tingkatkan Ketangguhan Industri Furnitur Pasca-pandemi

Produsen mebel dan kerajinan besar seperti IKEA bahkan sudah berinvestasi di teknologi AR untuk mempresentasikan produknya dan membantu pelanggan untuk mengambil keputusan dalam memilih produk. Ditambah lagi, aplikasi seluler AR memungkinkan para pelanggan untuk melihat produk dalam tampilan 3D secara real time.

  1. Pemanfaatan skema kerjasama bilateral, regional, dan multilateral

Akses pasar yang semakin terbuka didorong oleh adanya perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara-negara komplementer seperti Indonesia-JapanEconomic Partnership Agreement (IJEPA), IndonesiaEuropean Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), Asean-China Free Trade Areal (ACFTA), dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Leave a Reply

Your email address will not be published.