Mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PIKA sejak 2008 silam mengantarkan FX. Marsono atau yang kerap disapa Marsono menjabat sebagai kepala sekolah.
Pasalnya, selama 16 tahun berada di instansi pendidikan yang fokus pada industri perkayuan, Marsono merasakan bahwa tantangannya adalah memotivasi anak didiknya agar terus bertahan di SMK PIKA.
Menurutnya, industri perkayuan Indonesia sangat menjanjikan, tetapi masih memiliki stereotipe yang kurang menarik di kalangan anak muda.
“Saya membayangkan belajar atau bekerja di dunia perkayuan bukan sesuatu yang menarik untuk saat ini, tetapi kalau berpikirnya untuk lima tahun ke atas, industri ini sangat menjanjikan,” ujarnya.
Memiliki latar belakang yang sangat bertolak belakang dengan industri perkayuan merupakan cerita menarik di balik karier Marsono.
Dengan sedikit tertawa, ia bercerita bagaimana latar belakang pendidikannya ada di bidang tata busana ketika ia mengemban ilmu di Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK).
Pengalaman tersebut memberikan pandangan baru bahwa siapa saja bisa menjadi apa saja, asalkan mereka ingin mencoba dan belajar dengan sungguh-sungguh.
Usaha yang dilakukan secara otodidak untuk mempelajari tentang perkayuan membuat Marsono berhasil mendapatkan kepercayaan mengelola SMK PIKA sebagai kepala sekolah.
Baca Juga: Cerita Justinus Iwan Soerjono, Factory Manager PT Dwida Jaya Tama
Cikal Bakal SMK PIKA
Ketika ditanya mengenai cikal bakal SMK PIKA, Marsono bercerita, sekolah ini diawali bengkel perkayuan yang berdiri pada 1953.
Bengkel tersebut dinamai “Kebun Kayu” yang memberikan jasa pembuatan perabotan dan memperbaiki peralatan mebel.
“Kemudian muncul ide, mengapa kita hanya membuat dan memperbaiki terus? Mengapa kita tidak mendidik anak-anak muda supaya mereka bisa menjadi seorang wirausaha atau pengusaha perkayuan?” tambahnya.
Ide tersebutlah yang kemudian berhasil meresmikan pendirian sekolah PIKA sebagai institusi pendidikan pada 1 Januari 1972.
SMK PIKA memiliki satu fokus jurusan, yaitu desain interior dan teknik furnitur yang berjalan secara satu paket.
Marsono menambahkan bahwa ini merupakan salah satu keunggulan SMK PIKA dibandingkan dengan sekolah sejenis di bidang yang sama, di mana pembelajaran di PIKA memang sangat terfokus pada perkayuan saja.
Dalam sekali penerimaan, SMK PIKA hanya menerima 60 anak yang terbagi ke dalam kelas A dan B, dengan lama waktu pendidikan empat tahun sampai mereka siap memasuki dunia kerja.
Baca Juga: Koneksi dan Teknologi: Kunci Sukses Ekspor Produk Alat Musik PT Genta Trikarya
Teaching Factory untuk Kenalkan Budaya Perusahaan
“Teaching factory system adalah misi kami untuk membentuk sistem pembelajaran yang diadaptasi dari budaya perusahaan, sehingga anak-anak sekolah PIKA terbiasa belajar seperti di dunia perusahaan,” ujar Marsono saat ditanya tentang sistem pembelajaran di SMK PIKA.
Dengan diaplikasikannya sistem pembelajaran ini, diharapkan para siswa bisa menjadi pribadi yang lebih profesional dan siap kerja.
“Seperti presensi atau absen, itu tanggung jawab setiap anak ketika masuk dan pulang sekolah. Sama seperti seorang karyawan yang harus absen ketika masuk dan pulang kerja untuk menunjang kedisiplinan kehadiran mereka,” jelasnya.
Dalam upaya untuk semakin mengenalkan siswa dengan dinamika bekerja di industri perkayuan, Marsono menegaskan bahwa sebagai kepala sekolah, salah satu tugas dan tanggung jawabnya adalah untuk mengelola PIKA yang memiliki “unit produksi”.
Unit produksi merupakan miniatur perusahaan perkayuan, di mana struktur organisasinya dibuat lengkap mulai dari marketing, sanding, finishing, hingga ke tahap kirim.
“Mengelolanya (unit produksi) adalah salah satu tugas saya. Tetapi tugas utama saya adalah mendidik anak, menggerakkan pada guru dan staf agar melaksanakan pembelajaran secara baik untuk menciptakan lulusan yang unggul.”
Marsono berharap agar semakin banyak generasi muda yang tertarik dengan industri perkayuan dan ingin terus mengembangkan kompetensi pendidikan untuk menutup gap antara teknologi dan kebutuhan industri ini di masa depan.