
Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin mendesak di industri tidak cukup hanya dengan menyediakan banyak Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi juga harus memiliki kemampuan dan skill yang mumpuni agar bisa bertahan di tengah gempuran serta kerasnya industri saat ini.
Hal inilah yang kemudian mendorong PT Batara Krida Kencana (BMKK) untuk ikut berkontribusi menjawab desakan kebutuhan tersebut, terutama di bidang finishing dalam industri perkayuan Indonesia, dengan membentuk Sakola Tukang.
Salah satu sosok yang telah bertahun-tahun ikut membangun Sakola Tukang ialah D. Agusni.
Pria yang kini menjabat sebagai kepala sekolah di Sakola Tukang ini telah mendedikasikan hampir 4 tahun untuk memperkuat fondasi dan menghasilkan lulusan tukang yang kompeten.
Menurutnya, sebaik apa pun desain, material, maupun pengecatannya akan menjadi mubazir jika finishing-nya tidak kompeten.
Selain membuat hasil akhir yang tidak maksimal, hal ini juga dapat mendorong adanya kerja dua kali dan membuat biaya yang semakin tinggi.
“Desainnya bagus, pemotongannya bagus, pemilihan bahan-bahan bagus, pengecatannya bagus, tapi begitu di finishing, jadinya fail dan harus mulai dari awal lagi. Masalah seperti ini terulang, permasalahannya mencari SDM yang khusus untuk ini belum ada di Indonesia,” jelas laki-laki paruh baya yang lebih akrab dipanggil Agusni kepada tim Woodmag Magazine.
Berbekal pengalaman kerja sebagai konsultan dan psikolog membuat Agusni memiliki cara pandang menarik untuk mengaplikasikan pengetahuannya ke dalam kurikulum Sakola Tukang.
Apalagi menurutnya, setiap manusia bisa dilatih dan diberikan stimulus sesuai dengan keinginannya.
Namun, cara yang diterapkannya untuk para calon tukang tentu berbeda ketika menerapkan kepada seseorang yang bekerja di bidang keuangan, marketing, ataupun gudang.
“Pengalaman tersebut yang membantu saya membuat kurikulum di sini [Sakola Tukang], beberapa ada pengaruhnya. Meski tidak terlalu banyak, tapi saya didik anak-anak dengan ini. Bukan sekadar belajar, mereka juga memiliki perubahan perilaku jadi lebih baik,” tambahnya.
Membangun budaya B4 di Sakola Tukang
Agusni bercerita, Sakola Tukang lebih seperti sekolah yang mengedepankan keterampilan para siswanya. Sistem pembelajarannya pun sengaja diracik agar para siswa dapat memenuhi persyaratan dan mampu bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif setiap harinya.
“Di Sakola Tukang, kita mencoba untuk membangun mereka dari dasar. Dari dasar anak-anak ini, didik, dilatih, dikenalkan mengenai banyak hal, sehingga harapannya mereka bisa bersaing dengan yang lain,” tegas Agusni.
Maka itu, mulai dari kurikulum, modul, hingga program yang diterapkan merupakan hasil buatan orang-orang yang hebat di balik sekolah ini.
Pasalnya, anak-anak Sakola Tukang tidak hanya diajarkan hal dasar untuk bisa bekerja secara fisik, tetapi juga agar memiliki attitude yang baik.
Agusni pun menjelaskan alasannya, “Tukang yang sudah bekerja puluhan tahun memang sudah jago-jago. Akan tetapi, ada hal yang merisaukan kita yaitu mereka tidak punya kompetensi secara attitude, sikap, dan perilakunya.”
Stereotipe mengenai tukang di Indonesia yang sering kali dinilai ‘tidak rapi’ menjadi salah satu alasan Agusni tergerak untuk mengubah image tersebut yang dimulai dari para siswanya.
“Saya menitikberatkan khususnya kepada attitude, kemudian skill, baru knowledge,” ujarnya.
Maka dari itu, Agusni berpendapat bahwa sangat penting bagi para siswanya memiliki B4 yakni Brain, Beauty, Behavior, dan Be Yourself.
Pertama, Brain yakni kemampuan untuk berpikir dan terus mengikuti tren yang ada. Kemampuannya juga dapat membantunya untuk mengambil keputusan secara cepat dan cermat.
Kedua, Beauty bukan berarti tukang harus terlihat tampan secara fisik, tetapi perlu tahu caranya berseka. “Tukang harus berseka, harus bersih dari ujung kaki sampai kepala. Kan enak kalau tukang yang dateng bersih, berseka, harum,” jelasnya.
Kemudian ketiga Behavior, di mana Agusni mengajarkan kepada siswa agar berlaku sopan, santun, dan bisa dipercaya.
Terakhir, untuk poin Be Yourself, Agusni menjelaskan, “Jadi diri kamu saja, tidak usah jadi orang lain. Bangga lah dengan diri kamu sendiri, karena kalau membandingkan dengan orang lain terus, kamu tidak akan pernah puas dan bersyukur.”
Tantangan terbesar ialah kepercayaan diri para siswa
Tak bisa dimungkiri bahwa anak-anak yang tergabung dalam Sakola Tukang termasuk mereka yang kurang beruntung, seperti dari segi finansial keluarga sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan formalnya.
Akan tetapi, Agusni terus mendorong semangat mereka untuk belajar dan mengembangkan kemampuan dirinya agar mampu mengubah nasibnya.
“Pengalaman saya di sini selama hampir mau 4 tahun, kebanyakan mereka adalah anak-anak yang sudah terbiasa dengan hidup tidak punya harapan. Jadi prestasi menurut saya itu, mereka bisa mengubah sedikit hidupnya buat saya sudah senang. Saya sudah bersyukur,” akunya.
Para siswa Sakola Tukang pun menjalani rutinitas yang bisa dikatakan cukup ketat. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, serangkaian kegiatan seperti beribadah, olahraga, perenungan, kelas, dan istirahat pun dilakukan demi mempersiapkan calon pekerja mumpuni di bidangnya dengan fisik yang kuat.
Pendidikan serta pelatihan yang dijalankan dibuat dengan target agar para siswa mampu bekerja di level menengah ke atas. Ini pun menjadi alasan Sakola Tukang didesain agar para siswanya tidak gugup ketika memasuki dunia kerja.
Dalam penerapannya, Agusni memaparkan tantangan terberatnya berada di diri para siswa itu sendiri. “Tantangan terbesarnya ada di diri mereka sendiri, apakah mereka mau berubah atau tidak. Kalau dunia bisnis pasti akan terus berubah dan menuntut kualifikasi yang lebih,” ujarnya.
Apalagi mengingat industri pertukangan di Indonesia yang semakin kompetitif, maka semakin menuntut SDM-nya untuk benar-benar serius dan berusaha.
Agusni pun mencontohkan jika seorang pengusaha ingin merekrut karyawan, akan ada banyak hal yang akan dipertimbangkan selain pandai, mulai dari perilaku, tanggung jawab, komunikasi, hingga cara mengelola stres. Sederet pertimbangan tersebut adalah hal-hal yang ingin ditekankan Agusni kepada para siswanya.
Menurutnya, untuk bisa bertahan di industri yang semakin cepat mengalami perkembangan ini tidak hanya cukup dengan pintar atau hebat, tetapi pekerja yakni para tukang perlu mengetahui bagaimana cara mereka menyikapi situasi dan terus catch up dengan kondisi.
“Di dunia kerja yang semakin kompetitif ini menuntut mereka (para siswa dan calon tukang) untuk benar-benar serius dan berusaha. Karena mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, mereka akan masuk ke dunia yang penuh persaingan,” pungkas Agusni.
